keyakinan cinta
KEYAKINAN
oleh Raisya Marisdifa
Aku begitu bahagia dengan hari ini. Aku pulang dengan rasa puas dan
lega. Hari ini, kelas ku bisa merebut juara pertama dalam acara
Pagelaran Seni kelas 9 yang selalu ada setiap tahunnya. Rasa capek untuk
latihan 1 bulan terakhir rasanya sirna begitu saja. Apalagi selalu ada
dia di samping. Dia yang selalu menyemangatiku dan mendukungku. Dia yang
selalu menjadi penghilang rasa letihku. Dia yang ku cinta dan ku sayang
sepenuh hati. Dia adalah kekasihku. Kekasih yang begitu sempurna di
mataku.
Hp ku bergetar. Ini menandakan bahwa ada pesan masuk. Dan itu pesan dari
Rio, kekasihku. Dengan penuh cinta dia bertanya kepadaku.
“Sudah sampai di rumah sayangku?”
“Sudah sayang.” Jawabku.
“Kalau begitu harus mandi, terus makan, dan langsung istirahat ya
sayang. Aku tau kamu pasti capek karena telah tampil dengan energik
tadi.”
Aku tersenyum melihat pesannya.
“Iya sayang.” Balas ku.
Perhatiannya selalu membuat ku bahagia, walau aku sendiri tahu dia
selalu begitu setiap harinya. Semuanya tidak pernah membuatku bosan.
Karena dia selalu memberikan perhatian, cinta dan kasih sayangnya tulus
untuk ku. Aku bisa merasakan.
Semua ketulusan itu selalu ku rasakan dari awal bersamanya. Namun ketika
bulan itu, bulan dimana aku berulang tahun. Aku merasakan kehangatan
yang dia berikan dan ketulusannya sudah mulai berkurang. Semua itu
bermula ketika dia sering ikut papanya keluar kota. Awalnya aku
mengerti. Tapi lama kelamaan, aku sudah tidak mengerti dan sudah tidak
tahan dengan sikapnya. Dan dia juga sudah melupakan begitu saja hari
ulang tahunku. Dia sudah tidak seperhatian dulu, semua ketulusannya
hilang. Raib di telan bumi.
Dan pada akhirnya, aku pun sampai pada puncak kemarahan. Aku mengiriminya pesan.
“Aku sudah tidak tahan dengan sikap mu Rio, kamu berubah. Aku tersiksa seperti ini.”
Dia pun membalas.
“Terus aku harus bagaimana Ca?”
“Kamu itu jahat banget sich, apa kamu tidak tahu bagaimana aku selama
ini? Aku selalu bersabar menunggu kamu pulang dari luar kota. Aku
mengerti kalau kamu tidak bisa mengirimi aku pesan setiap saat karena
alasan tidak mendapatkan sinyal. Dan aku pun bersabar, karena kamu tidak
ada pada hari ulang tahunku. Namun sekarang apa balsannya? Balasan atas
kesabaran ku. Seakan- akan kamu sudah mencampakkan ku.” Balas ku dengan
penuh emosi.
“Maaf Ca, aku tau aku salah. Tapi aku juga tidak tahu kenapa aku bisa begini.” Jawabnya.
Namun, karena aku sudah begitu emosi. Aku tidak bisa mengendalikan
emosi. Dan aku juga lupa, kalau Rio sangat tidak suka di beda- bedakan.
“Dulu kamu sangat perhatian sama aku, sekarang begitu cuek. Dulu kamu
selalu ingin bercerita degan ku setiap malam, tapi sekarang boro- boro
mau cerita. Ucapin selamat tidur aja gag. Selalu bangunin aku setiap
pagi, nyuruh aku mandi, nyuruh aku makan. Tapi sekarang, itu tidak
pernah kamu lakukan lagi. Kemana Rio ku yang dulu? Aku hanya ingin
pacaran dengan Rio ku yang dulu.”
“Aku janji akan berubah Ca. Maafin aku Ca.” Jawabnya singkat.
Tapi entah bagaimana, aku tidak percaya dengan kata- katanya. Aku merasa
ketidak tulusan darinya. Dan itu semua membuat ku mengabaikan semua
perkataannya.
Hari selanjutnya, dia sudah mulai perhatian lagi kepada ku. Namun
anehnya aku masih saja marah. Dan itu semua juga membuatnya emosi dan
muak. Emosi karena perkataanku dan muak karena ia merasa aku selalu
menyalahkannya. Aku merasa tidak pernah menyalahkannya. Aku hanya
mengatakan apa adanya.
Mengatakan bagaimana sikapnya yang telah membuatku tersakiti. Aku hanya
seorang wanita, wanita yang lemah dan ingin di mengerti. Tapi dia sudah
tidak menyadari itu. Dan pada akhirnya, Rio memutuskan hubungan kami.
Aku juga tidak tahu pasti apa alasannya memutuskan hubungan kami. Apa
karena muak karena aku selalu menyampaikan bagaimana sikapnya yang
selalu membuatku sakit hati atau karena sudah jenuh? Aku tidak pernah
tau.
Di telfon dia berbicara.
“Aku butuh waktu Ca. Aku mau sendiri dulu. Aku juga gag tau, kenapa
hatiku bisa kosong sekarang. Tolong beri aku waktu Ca. Aku janji akan
mencari kamu suatu saat nanti. Kalau kita jodoh kita pasti akan ketemu
lagi. Satu lagi, kamu harus bisa menggapai cita- cita mu.”
“. . .” Hening.
Telfon dimatikan.
Di saat itu aku begitu sangat terpuruk. Dan itu menyebabkan aku tidak
bisa menjawab perkataan Rio. semua benda- benda tajam serasa menghujam
hatiku. Tak cukup dengan menangis melepaskan kesakitan itu. Aku tak
percaya Rio seperti itu. Aku berharap dia bisa berubah demi aku, dengan
mengatakannya kepadaku dengan tulus. Aku tak percaya janji setia selama
ini yang dia umbar kepadaku, terbang dan hilang begitu saja.
Aku juga sadar, aku begitu protektif kepadanya. Dan aku menyesali itu.
Dalam hati aku hanya bisa meminta maaf atas kesalahan ku. Aku bukanlah
wanita yang sempurna yang tak luput dari kesalahan.
Selama beberapa hari aku hanya bisa berteman dengan kesedihan. Namun
beberapa hari kemudian, aku bisa menemukan dunia ku kembali. Aku bisa
merebut ceria ku lagi. Hanya satu yang bisa membuat ku kuat lagi. Yaitu
keyakinan. Yakin Rio akan menepati janjinya, yakin bisa menggapai cita-
cita ku walaupun tidak ada Rio di sisiku,yang selalu ada dan
menyemangatiku di kala putus asa. Dan itu semua akan ku jadikan sebagai
kado spesial untuk pertemuan kami nanti. Pertemuan yang akan menyatukan
hati dan cinta kami kembali. Yang bersifat abadi
No comments:
Post a Comment